Membangun (Kembali) Serambi Pejuang Pendidikan

Oleh: Kristianus Jimy Pratama, S.H.

Salah satu tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang termuat pada alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI) Tahun 1945) adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Sehingga oleh karenanya, Pemerintah memiliki tanggung jawab untuk mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa (vide ketentuan Pasal 31 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945). Sejalan dengan hal tersebut, ketentuan Pasal 1 angka (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) menerangkan bahwa akar dari pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945 adalah nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia, dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman.

Dimana salah satu bentuk terwujudnya pendidikan nasional yang berakar dari nilai-nilai agama dan kebudayaan nasional Indonesia adalah tindakan memuliakan seorang guru. Raden Mas Soewardi Soerjaningrat atau yang lebih dikenal dengan Ki Hajar Dewantara pernah mengungkapkan sebuah petuah yang menerangkan bahwa dengan ilmu kita menuju kemuliaan. Sehingga kita telah sepatutnya harus menyadari bahwa tidak akan ada seorang pemimpin yang baik tanpa adanya seorang guru. Seringkali juga kita mendengar sebuah ungkapan bahwa guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa. Namun apabila ungkapan tersebut direfleksikan pada dunia pendidikan dewasa ini, timbul sebuah pertanyaan reflektif yang berada di alam pikiran; sudahkah kita memberikan penghormatan yang sepatutnya kepada seorang guru yang telah membangun peradaban bangsa ini?

Terlebih apabila kita melihat keberadaan guru honorer yang hingga hari ini selalu ikhlas dalam menjalankan jalan pengabdiannya, meskipun tanpa disertai penghormatan yang sepatutnya dari kita yang adalah putra putri bangsa yang telah dididiknya. Hari ini kita mungkin tidak akan asing dengan sebuah slogan di dunia pendidikan yang berbunyi Merdeka Belajar. Namun yang perlu dikritisi adalah benarkah guru honorer di Indonesia telah merdeka secara lahir dan batiniah. Ketentuan Pasal 14 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen menegaskan bahwa salah satu hak guru (guru honorer in casu) adalah memperoleh penghasilan diatas kebutuhan hidup minimum dan jaminan kesejahteraan sosial. Namun ketentuan a quo justru telah menjadi landasan yuridis bagi Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam menggunakan skema upah minimum untuk merumuskan besaran nilai penghasilan seorang guru honorer.

Apabila dicermati secara saksama, hal ini justru akan memberikan disparitas penghasilan bagi seorang guru honorer. Bahkan apabila kita berbicara mengenai guru honorer yang memberikan pengabdian di daerah terluar, terdepan, dan tertinggal (3T) yang akan mendapatkan penghasilan yang terbilang lebih rendah dibandingkan guru honorer yang memberikan pengabdian di daerah yang memiliki besaran nilai upah minimum yang tinggi. Sehingga telah sepatutnya, Pemerintah Pusat untuk membentuk sebuah kebijakan dalam menentukan besaran nilai upah minimum bagi penghasilan guru honorer secara nasional. Dimana Pemerintah Daerah berdasarkan kebijakan a quo dilarang untuk menentukan besaran upah minimum bagi penghasilan guru honorer lebih rendah daripada yang telah ditetapkan oleh Pemerintah Pusat. Hal ini memiliki urgensi untuk memberikan kemerdekaan lahiriah bagi guru honorer secara merata di seluruh Indonesia.

Namun selain permasalahan terhadap besaran penghasilan yang layak, seorang guru honorer juga menghadapi polemik status dan kedudukannya. Pemerintah Pusat secara tegas dalam ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2018 tentang Manajemen Pegawai Pemerintah Dengan Perjanjian Kerja (PP Manajemen PPPK) mengemukakan bahwa seorang guru honorer dapat diangkat menjadi seorang Pegawai Pemerintah Dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Apabila kita mencermati ketentuan Pasal 1 angka (4) PP Manajemen PPPK yang menjelaskan bahwa PPPK adalah Warga Negara Indonesia yang memenuhi persyaratan tertentu yang diangkat berdasarkan perjanjian kerja untuk jangka waktu tertentu dalam rangka melaksanakan tugas pemerintahan, frasa jangka waktu tertentu yang termuat dalam ketentuan a quo sendiri memiliki implikasi bahwa seorang guru honorer yang diangkat menjadi PPPK harus kembali menghadapi aspek jangka waktu yang telah ditetapkan Pemerintah. Oleh karena itu sudah sepatutnya, seorang guru honorer tidak diangkat menjadi PPPK melainkan menjadi aparatur sipil negara melalui mekanisme kredit nilai dan lamanya tahun pengabdian. Hal ini ditujukan untuk memberikan penghormatan kepada guru honorer yang memiliki pengabdian yang lama di bidang pendidikan dan apresiasi terhadap guru honorer yang berprestasi.

Disamping kedua permasalahan tersebut, ditengah pandemi dan digaungkannya digitalisasi di bidang pendidikan tidak dapat dipungkiri bahwa permasalahan guru honorer dalam aspek kompetensi juga semakin kompleks. Hal ini dikarenakan digitalisasi di bidang pendidikan harus disertai pula dengan sumber daya manusia yang cakap digital pula. Tentu menjadi sepatutnya bagi Pemerintah untuk memahami bahwa pendidikan itu mengenai kemanusiaan dan berbeda halnya dengan bisnis sebuah produk pada layanan digital. Sehingga, Pemerintah seyogyanya dapat mengedepankan peningkatan kompetensi dari setiap guru honorer yang belum hingga kini beralih status menjadi PPPK. Terlebih bagi guru honorer yang berada di daerah 3T, secara khusus yang berada pada daerah tapal batas. Tidak hanya mengenai peningkatan kompetensi, pemerataan dalam pembangunan infrastruktur dan penyediaan akses bagi guru honorer terhadap kegiatan belajar mengajar (KBM) juga harus secara langsung diperhatikan dengan verifikasi lapangan. Hal tersebut dapat meningkatkan hasil luaran dari pemberian kuota internet bagi kalangan guru dan siswa yang dilakukan oleh Pemerintah. Oleh karena itu, ketika kita mengunjungi sebuah rumah maka tentulah kita akan sampai pada serambi dari rumah tersebut untuk pertama kalinya. Sehingga telah sepatutnya kita membangun kembali serambi para guru honorer sebagai pejuang pendidikan di Indonesia agar kita benar-benar memiliki adab dalam memuliakan seorang guru. Niscaya peradaban anak-anak bangsa akan menjadi generasi emas yang berakhlak mulia.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Quo Vadis Hukum Pelindungan Data Pribadi Pada Sektor Perbankan